Monthly Archives: April 2011

Terbuka Peluang Indonesia Pimpin Gerakan Perubahan Iklim

Sumber : Media Indonesia

30 April 2011

Indonesia berpeluang menjadi pemimpin global dalam perubahan iklim bila sukses mengimplementasikan REDD, kataAdministrator Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) Helen Clark pada Jumat (29/4).

“Indonesia memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemimpin global dalam perubahan iklim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menetapkan jadwal untuk mengurangi emisi, dan hanya tercapai bila REDD diimplementasikan,” katanya di Jakarta, Jumat (29/4).

REDD adalah Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan yang mulai diusulkan pada Konferensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali pada 2007 dan disempurnakan pada KTT Perubahan Iklim Kopenhagen 2009. REDD berisi mekanisme bagi negara berkembang dan kaya hutan untuk memperoleh imbalan dari negara maju karena melestarikan hutannya.

Presiden SBY pada KTT G20 di Pittsburgh pada September 2009 mengajukan secara sukarela upaya pengurangan emisi karbon Indonesia sebesar 26 persen pada 2020 termasuk dengan menggunakan mekanisme REDD.

“Indonesia juga sudah memiliki kerja sama dengan Norwegia dalam skema REDD karena memang masalah hutan tropis Indonesia juga merupakan masalah global, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana skema tersebut memberikan manfaat bagi masyarakat setempat,” ujarnya.

Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim di Oslo pada 27 Mei 2010 menandatangani Letter of Intent (LoI) REDD Plus dengan hibah dana sebesar US$1 miliar.

Kalimantan Tengah kemudian terpilih sebagai provinsi percontohan untuk program REDD+ yaitu skema yang meliputi selain pengurangan emisi dari penggundulan (deforestasi) dan penurunan kualitas (degradasi) hutan, juga meningkatan penyerapan karbon melalui konservasi, pengelolaan hutan lestari sertapeningkatan cadangan karbon hutan mulai 29 Desember 2010.

“Pemerintah Kalteng sudah berada di perahu yang sama untuk mewujudkan target pengurangan emisi dan memikul tanggung jawab yang besar sebagai provinsi pertama yang melakukan skema REDD ,” ujar mantan perdana menteri Selandia Baru periode 1998-2009 itu.

Ia mengatakan bahwa saat ia berkunjung ke Kalteng pada Rabu (27/4) dan berkomunikasi langsung dengan masyarakat di sana, pemimpin setempat mengatakan bahwa mereka membutuhkan dukungan untuk akses ke air bersih, pengadaan kredit mikro yang mendukung, usaha kecil dan juga desa pariwisata.

“Hal-hal ini merupakan hal yang sangat praktis dan konsisten dengan tujuan REDD+, jadi penting bagi pemerintah pusat di Jakarta, pemerintah provinsi atau kabupaten untuk mendengar apa yang masyarakat inginkan dari program ini,” katanya.

Menurut Helen yang sudah bertemu dengan Presiden SBY pada Kamis (28/4), tantangan yang saat ini dihadapi pemerintah pusat adalah pemberlakuan moratorium atau penghentian sementara izin penebangan hutan. “Moratorium memang hal yang sulit karena menyangkut politik, dan sama seperti saat saya menjadi PM Selandia Baru dulu, hal ini merupakan isu yang sangat berat, namun saya yakin Indonesia dapat melakukannya,” kata Helen.

Menurut dia, proses tersebut dapat terjadi dengan kepemilikan visi yang kuat, penetapan langkah-langkah yang serius sesuai visi, memilih orang-orang yang dapat mendukung untuk melakukannya, serta terus berpikir bagaimana dengan inisiatif tersebut dapat memberikan manfaat bagi rakyat.

“Di masa lalu pembangunan dilakukan dengan cara menghabiskan hutan, yang saat ini dilakukan adalah bagaimana pembangunan dengan memelihara hutan, jadi program ini harus membayar untuk tetap menjaga kelestarian hutan, itulah REDD+,” ujarnya.

Helen mengungkapkan bahwa skema pembangunan hijau (green growth) juga diminati oleh badan pembangunan atau negara lain. “Badan pembangunan Amerika Serikat yang cukup besar seperti Millennium Challenge Cooperation (MCC) atau negara Australia juga tertarik dengan masalah lingkungan, jadi bila Indonesia dapat menjalankan kebijakan REDD+ dengan baik dan memperlihatkan bahwa masyarakat setempat mendapatkan manfaat  maka dapat menjadi lahan investasi yang potensial,” katanya.

Menurut data UNDP, Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pelepas karbon, dengan lebih dari 80 persen emisi nasional berasal dari perubahan tata guna lahan –terutama deforestasi. Indonesia juga memiliki 86-93 juta hektare tutupan hutan (hampir 50 persen dari luas lahan).

Lebih kurang separuh lahan gambut tropis di dunia berada di Indonesia seluas lebih kurang 21 juta hektar dengan Kalteng sebagai provinsi dengan lahan gambut seluas 3,01 Juta hektare dan besaran emisi karbon senilai 292 metrik ton (2005), sebagian besar dari mengalihgunaan lahan gambut dan hutan. (Ant/OL-2)

Link : http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/30/222150/89/14/Terbuka-Peluang-Indonesia-Pimpin-Gerakan-Perubahan-Iklim

Indonesian Official: REDD+ Forest Conservation Plan Need Not Limit Growth Of Palm Oil Industry

Source : Mongabay
April 29, 2011

Indonesia’s low carbon development strategy will not impede the palm oil industry’s growth said a key Indonesian climate official during a meeting with leaders from the country’s palm oil industry.

During a meeting on Thursday, Kuntoro Mangkusubroto, head of Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono’s REDD+ Task Force, asked industry leaders for their input on the government’s effort to shift oil palm expansion to degraded non-forest land.

“It’s only through sustainable management of natural resources we can achieve the government’s target, with 7% economic growth and 26% reduction of greenhouse gas emissions,” Kuntoro said in a statement. “Providing Indonesia’s industry with access to degraded land is a cornerstone of our plans for sustainable economic growth and it’s one of the key areas the REDD+ Taskforce is working on.”

“This means sufficient land is available for the future growth of palm oil and forestry industry, even when the most optimistic growth scenarios for these sectors are taken into account,” stated a press release from the REDD+ Task Force. “Palm oil makes a vital contribution to the Indonesian economy, but it’s also an industry where there is clear room for improvement in how resources are managed. A key initiative would be to move away from a land use system, where forests are converted for plantations, while degraded land remains unused.”

A representative for the Indonesian palm oil industry seemed amenable to the ideas of expanding new plantings on degraded lands.

“Sustainability has been a top of mind issue for the Indonesian palm oil industry for a long time,” said Joko Supriono, Secretary General Indonesian Palm Oil Producers Association (GAPKI), in a statement. “For a number of reasons, degraded land has been extremely difficult to develop and we welcome initiatives from the government that will allow for expansion into these areas.”

Expansion on degraded lands has been hindered by land tenure conflicts — non-forest land is more likely to be claimed by local communities — and higher development costs. Some plantation companies have relied on logging revenue to subsidize costs of plantation development. Futhermore, degraded lands often have degraded soils, further increasing the cost of plantation establishment.

“If we can work together and make this happen, it will be an important contribution to strengthening the sustainability of Indonesia’s palm oil industry,” said Supriono.

Kuntoro’s meeting with the palm oil industry came as efforts continued to break a deadlock over the definitions of what type of forest will be included in a proposed moratorium on new concessions. The moratorium, a condition of Norway’s one billion pledge to support forest conservation in Indonesia, was supposed to go into effect January 1, 2011 but has been stalled due to differences in opinion on whether the concession ban will apply to all natural forest or just primary forest. Logging, mining, and plantation interests are keen on seeing a narrower definition to ensure they will still have access to new forest areas. Environmentalists want all forest to be protected. Some observers say the dispute is somewhat of a red herring because Norway’s support — and REDD in general — is dependent on actual reductions in emissions from deforestation and degradation no matter how forest is classified.

Link : http://news.mongabay.com/2011/0429-indonesia_redd_palm.html

Mengukur Kandungan Karbon Taman Nasional

28 April 2011
Oleh : Harry Suryadi

Jember – Sedikitnya 60 orang aktivis pecinta lingkungan bersama tokoh masyarakat, petani, lembaga swadaya masyarakat dan staf Taman Nasional Meru Betiri melakukan
pengukuran kandungan karbon. Hasil temuan kelompok masyarakat, tercatat kandungan karbon di kawasan taman nasional itu sebesar 170 ton hingga 300 ton per
hektar dalam kurun waktu tahun 2011.

Ini diungkapkan kepala Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Bambang Darmadja dan Koordinator Peneliti Gas Rumah Kaca Kantor Kementerian Kehutanan Ari Wibowo di Bandealit, Kecamatan Tempurejo, Jember, Jawa Timur, Rabu (27/4/2011). Kelompok masyarakat itu sudah bisa mengukur sendiri kandungan karbon yang terdapat di kawasan hutan taman nasional, kata Bambang Darmadja.

Sebanyak 60 kader konservasi terlatih menghitung kandungan karbon itu, sebagian besar atau 70 persen adalah kelompok tani atau pemanfaat hutan kawasan taman nasional, Lembaga Swadaya Masyarakat Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL), sidanya dari staf TNMB. “Kami menghitung kandungan karbon pada 40 plot di dalam kawasan taman nasional dan setiap plot luasnya 20 x 100 meter,” kata Suparman, dari kelompok tani.

Ia mengakui, tiap plot kawasan hutan di taman nasional memiliki perbedaan vegetasi sehingga antara satu vegetasi dengan lainnya memiliki kandungan karbon
berbeda. Hasil pengukuran itu, terendah sekitar 170 juta ton karbon dalam tahun ini, sedang tertinggi ada yang sampai 300 ton per-hektar tahun ini. Padahal luas kawasan Taman Nasional Meru Betiri secara administratif meliputi dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Banyuwangi dan Jember sekitar 58.000 hektar.

“Namun secara keseluruhan kandungan karbon sumbangan dari Taman Nasional Meru Betiri masih dihitung,” kata Ari Wibowo.

Untuk itu, TNMB bekerja sama dengan Intrenastional Tropical Timber Organistion (ITTO) yang berkedudukan di Jepang ingin meningkatkan kemampuan agar kandungan karbon menjadi lebih tinggi lagi. Untuk itu, mereka memanfaatkan kelompok masyarakat dan siswa sekolah dasar supaya melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan dan perkampungan. Menurut Ari Wibowo, sejak tahun 2000-2005 terjadi pengalihan fungsi hutan setiap tahunnya sekitar 1,2 juta hektar.
Sebelum itu, angka pengalihan fungsi hutan justru lebih tinggi. Untuk itu, melalui Reducing Emition from Deforestation and Degradation (REDD) diharapkan mampu memberi jawaban kepada dunia akan kesungguhan Indonesia memperbaiki lingkungan dengan memperbanyak kandungan karbon.

Caranya dengan melakukan penanaman pohon sebanyak-banyaknya, baik di kawasan konservasi maupun lahan milik masyarakat. “Makanya program satu milyar penenaman pohon harus benar-benar dilakukan,” kata Bambang Darmadja.

 

Link: http://sains.kompas.com/read/2011/04/28/08390273/Mengukur.Kandungan.Karbon.Taman.Nasional

Business, Political Leaders Back Indonesia’s Sustainability Commitments

Source : Eco Business
April 29, 2011
By : Sara Schonhardt

Led by Hatta Rajasa, Indonesia’s Coordinating Minister for the Economy, the declaration commits companies to undertake individual initiatives in support of sustainability, while also forming partnerships with governments and NGOs.

It is also a direct acknowledgment from the government that it is willing to take action to work with business on environmental preservation.

On Thursday, President Susilo Bambang Yudhoyono pledged to meet Indonesia’s emissions reduction goal of curbing greenhouse gas releases by 26 per cent by 2020 while also working toward economic growth of 7 per cent by 2014.

“Most economic development does not take into account the value of the environment,” said Rajasa. He also said that climate change poses a challenge (with the added costs of climate change mitigation) for economic growth. But it also offers an opportunity for businesses and governments willing to lead, he added.

The companies taking part in the pledge are delegates at the Business for the Environment Global Summit, a gathering of more than 700 leaders from businesses, international organizations and governments seeking sustainable growth strategies.

By declaring their support, the businesses have agreed to support zero net deforestation by 2020 by phasing out products sourced from deforested areas; invest in energy resource efficiency programs; promote sustainability throughout their supply chains; support programmes that protect high biodiversity and carbon storage areas; invest in sustainable urban planning; and promote more sustainable consumption in Indonesia.

“It’s a win-win solution that balances the need for environmental conservation while also allowing the economy to grow,” Rajasa said.

Indonesia hopes to become a global model for responsible natural resource management, and it has signed on to a number of projects to limit deforestation.

The REDD+ agreement with Norway commits Indonesia to reducing its carbon emissions from deforestation in return for up to $1 billion in financial aid; and the adoption of a zero net deforestation model proposed on Wednesday by the World Wide Fund for Nature (WWF) promotes forest-based enterprises that combine business growth with environmental sustainability.
The REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) scheme addresses deforestation by creating financial incentives for land owners to preserve their forests.

In his keynote address on Thursday, President Yudhoyono called Indonesia a “hot spot for climate diplomacy” – a nod to the role he hopes his country can play in future climate change negotiations. 

He also said the government could not reach its goal without help from the business community.

Those comments echoed the view held by Indonesia’s Chamber of Commerce and Industry (KADIN), whose chairman, Suryo Sulisto, said the importance of the private sector’s involvement in balancing development and environment was becoming increasingly obvious, as was the need for a shift in business thinking.

During the launch on Wednesday of the Indonesian Business Council for Sustainable Development, advisor Neil Franklin said businesses should see sustainability as an opportunity. General Electric (GE) Asean chief executive officer Stuart Dean also reminded participants that innovation for low-carbon growth provided money making opportunities.

If the incentive of making sustainability profitable isn’t enough, Indonesia’s businesses have another reason to make the pledge.

The declaration ends with the stark reminder: “The costs of inaction are far greater than the costs of action.”

Eco-Business.com’s coverage of the B4E Global Summit 2011 is brought to you by City Developments Ltd (CDL).

Link : http://www.eco-business.com/features/business-political-leaders-back-indonesia%E2%80%99s-sustainability-commitments/

Standing Ovation untuk SBY

Sumber : Nasional

29 April 2011

Oleh Irvan Ali Fauzi

Setiap kali berpidato, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu mendapat sambutan tepuk tangan dari hadirin. Namun, jika sambutan itu berupa standing ovation mungkin tidak setiap hari SBY menerimanya, apalagi sampai berkali-kali.

Standing ovation adalah sambutan dari hadirin dengan cara bertepuk tangan sambil berdiri. Biasanya, sambutan ini diberikan jika pidato itu sangat bagus dan memukau hadirin. Dalam tradisi barat, cara bertepuk tangan seperti itu merupakan pujian.

Presiden, Kamis (28/4/2011), menjadi pembicara kunci dalam acara The 5th Annual Business for the Environment Global Summit (B4E) di Hotel Shangri-La, Jakarta. Selain SBY, sejumlah tokoh penting juga turut berpidato. Antara lain mantan Perdana Menteri Selandia baru Helen Clark yang kini menjadi pimpinan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Hadir pula sejumlah pengusaha dan pimpinan perusahaan dari dalam dan luar negeri.

Saat itu Presiden menyampaikan pandangannya dalam bahasa Inggris mengenai upaya pemerintah Indonesia mengatasi perubahan iklim. Menurutnya, Indonesia telah menyiapkan kebijakan tingkat nasional untuk pertumbuhan ekonomi dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Dalam konteks Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) Plus, pemerintah menawarkan pemanfaatan lahan yang sudah terdegradasi untuk perkebunan dan aktivitas lain.

“Konsisten dengan inisiatif REDD Plus, Indonesia menawarkan untuk mengalokasikan perluasan perkebunan dan aktivitas ekonomi lain terhadap lahan yang sudah terdegradasi atau daerah rendah Karbon,” ujar SBY.

Saat ini, lanjut Kepala Negara, Indonesia memiliki 30 juta hektar lahan terdegradasi yang penting bagi kesinambungan pertumbuhan ekonominya. “Saya senang dapat mengumumkan bahwa pemerintah akan memberikan akses lahan terdegradasi pada industri yang serius ingin mengembangkan atau berinvestasi pada lahan ini untuk kesejahteraan rakyat kami dan masa depan planet kita,” ujar Presiden SBY.

Pernyataan Presiden itu dianggap penting karena menunjukkan komiten pemerintah terhadap kelangsungan lingkungan bumi. Sebab, saat ini dunia membutuhkan pemerintah yang memiliki komitemen kuat terhadap lingkungan, terutama terkait dengan pemanasan global. Dalam hal ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang memiliki peran penting karena masih memiliki banyak hutan.

Pernyataan Presiden itu langsung mendapat sambutan dari hadirin. Di luar dugaan, tidak hanya tepukan tangan yang ia terima, tetapi lebih dari itu yakni standing ovation. Bahkan itu tidak hanya sekali atau dua kali hadirin melakukannya, tetapi berkali-kali.

SBY tentu tidak berharap mendapat sambutan semeriah itu. Sebab, yang ia sampaikan hanyalah apa yang dilakukan pemerintah. Namun, boleh jadi Presiden juga senang menerimanya. Paling tidak, apa yang dilakukan pemerintah mendapat penghargaan dari masyarakat, bukan hanya dari masyarakat lokal tetapi dunia. [tjs]

Link : http://nasional.inilah.com/read/detail/1462922/standing-ovation-untuk-sby

Indonesia Has Role In Tackling Climate Change, Development Challenges

Source : UNDP
April 29, 2011

UNDP Administrator Helen Clark concluded a three-day visit to Indonesia today which highlighted the country’s increasingly prominent global role in addressing development and climate change challenges.

Helen Clark met with Indonesia President Susilo Bambang Yudhoyono and other high-level officials to discuss UNDP and Indonesia’s continuing partnership, as well as the country’s pioneering efforts to prevent deforestation and forest degradation. They also discussed the importance of globally sharing Indonesia’s development experiences, particularly with regards to the progress made on the MDGs, the country’s important work in disaster recovery, and its democratic transformation.

Helen Clark traveled through parts of Central Kalimantan, which was selected as a pilot province for REDD+ projects, where she met with community members and officials.  REDD – Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation – is a global effort that puts a price on carbon stored in forest, offering incentive, both financial and environmental, for countries to reduce emissions by better managing forest resources. REDD+ goes beyond deforestation and includes the role of conservation and sustainable management of forests.  Norway has committed $1 billion for Indonesia’s REDD+ agenda.  Indonesia plans to reduce Green House Gas emissions by up to 26 percent by 2020, as it has among the highest levels of emissions in the world.

“At UNDP, we place emphasis on how local people can benefit.  In the design of REDD+,  it is important there are win-wins for the local people for the forests,” said Helen Clark about the future of REDD+ in Indonesia.

While in Jakarta, the UNDP Administrator and Indonesian President  Susilo Bambang Yudhoyono gave keynote addresses at the Business for Environment Global Summit 2011. Known as B4E, the summit was aimed at exploring new approaches to business leadership that aligns corporate goals with environmental ones that promote a clean economy and low-carbon future.

President Yudhoyono outlined his vision for Indonesia to play a key role in addressing global climate change, urging business to join government to take action. “Achieving a green economy will require collective vision, creativity, action and support from a broad cross-section of society, especially the business community. It will require sustainable consumption and production as part and parcel of a green economy,” he said.

“Business as usual, which leads to broken ecosystems and a warming climate, contributes to increasing economic volatility, and to higher costs and lower profitability of doing business,” said Helen Clark, in her speech.

“There is no question in my mind that in both the present and the future, investing in inclusive and low carbon growth makes good business sense,” Helen Clark said in her address. “Increasingly in global markets, goods and services with high carbon footprints and negative social costs will become less competitive and less desirable,” she said.
Helen Clark’s visit to Indonesia also included participation in a Youth Dialogue with 100 Indonesian students to discuss their important role in promoting and maintaining environmental sustainability.  She urged them to set goals for themselves and work towards them. “If you make a difference in this country, you will make a difference to the world,” she said.

Her meetings also included discussions with the Minister of Foreign Affairs Mr. Marty Natalegawa; Minister Armida Alisjahbana from Bappenas; Secretary of the Presidential Taskforce on REDD+, Mr. Heru Prasetyo; Governor of Cenetral Kalimantan, A. Teras Narang, and the head of the UN Agencies and other key development partner institutions.

Link : http://content.undp.org/go/newsroom/2011/april/indonesia-has-role-in-tackling-climate-change-development-challenges.en;jsessionid=agjKiJ6mIAk_

Pemerintah Siapkan 30 Juta Hektar Lahan Rusak untuk Industri

Sumber : Tempo

28 April 2011

Oleh  Eko Ari Wibowo

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan telah menyiapkan 30 juta hektar lahan rusak untuk dikembangkan bagi industri dan pengembangan pembangunan. Misalnya, perluasan lahan kelapa sawit dan kehutanan.

“Pemerintah akan memberikan akses ke lahan terdegradasi untuk industri yang serius dalam memperluas atau rencana investasi di lahan ini demi kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan planet kita,” kata SBY dalam sambutannya di acara Bisnis untuk Lingkungan di Hotel Shangrila, Kamis, 28 April 2011.

Pemerintah juga menyiapkan kebijakan baru dan insentif bagi perusahaan yang akan mengubah padang rumput tidak produktif menjadi aset unggul dan produktif. Menurut presiden, kebijakan ini untuk memanfaatkan lahan yang sudah terdegradasi untuk tujuan produktif dan memperluas penggunaan lahan untuk pertanian yang tidak mengancam lingkungan. “Keberhasilan program ini sangat penting bagi keberhasilan kami dalam mengejar tingkat perekonomian,” ujarnya.

Dalam konteks kebijakan nasional, Indonesia telah mengembangkan strategi REDD PLUS yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Program REDD PLUS ini dilakukan pada lahan gambut dan pengelolaan hutan. Hal ini sangat signifikan di Indonesia dalam pengurangan karbon dan keanekaragaman hayati yang kaya hutan hujan tropis. “Kemitraan ini bertujuan untuk membantu masyarakat lokal menjadi lebih makmur dan tidak menghambat aspirasi pembangunan mereka,” katanya.

Indonesia juga telah membentuk berbagai inisiatif pendanaan untuk mendukung pengembangan emisi karbon rendah. Kami telah mendirikan Perubahan Iklim Indonesia Trust Fund dan Indonesia Green Investasi (IGI) Dana. Kami telah meminta UNDP untuk memfasilitasi Lembaga Keuangan yang dapat mengelola dana REDD Plus setelah Letter of Intent antara Pemerintah Norwegia dan Republik Indonesia. Hal ini dalam mencapai pertumbuhan ekonomi 7 persen dan 26 persen pengurangan emisi gas rumah kaca dari sisi bisnis pada tahun 2020.

Presiden mangajak pelaku industri yang hadir dalam forum itu untuk berkontribusi pada penciptaan ekonomi hijau dan masa depan karbon rendah. “Saya berharap semua pertimbangan produktif dan berbuah hasil yang harus mengarah kepada penyelesaian transformatif untuk planet kita dan generasi masa depan,” kata Presiden. Salah satunya melalui kerangka koridor ekonomi yang akan menjadi jalan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.

Pada tingkat global, Indonesia telah memelopori kerja sama yang lebih besar untuk melindungi dan mengelola kelestarian hutan melalui Forum Sebelas. Forum ini didirikan untuk memastikan bahwa negara-negara kehutanan secara kolektif dapat menjadi bagian dalam mencari solusi penanganan iklim global dan mengaitkan dengan pembangunan ekonomi dan sosial. “Saya senang bahwa F-11 telah menghasilkan beberapa proyek kolaborasi yang dapat dilengkapi dengan inisiatif deforestasi internasional untuk pengurangan emisi,” ujarnya.

Link : http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/04/28/brk,20110428-330755,id.html

Redd+ Harus Libatkan Masyarakat

Rabu, 27 April 2011

Editor: Priyambodo RH

Palangkaraya (ANTARA News)  – Proyek REDD+ atau Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan perlu melibatkan masyarakat setempat, kata Administrator Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Program Pembangunan (UNDP), Hellen Clark, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu.

“Yang diutamakan oleh UNDP dalam program ini adalah bagaimana pemerintah juga memperhatikan keikutsertaan masyarakat,” katanya didampingi Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras.

Clark, yang mantan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, juga mengatakan bahwa REDD+ seharusnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.

“Indonesia dalam tahap kemajuan untuk program ini, yang penting adalah melakukan konsultasi dengan para pemangku kepentingan setempat dan menetapkan moratorium dalam dua tahun,” jelas Clark.

Teras Narang mengatakan bahwa pihaknya sedang mengupayakan sosialisasi proyek REDD+ bagi masyarakat di wilayahnya.

“Kami mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan baik masyarakat maupun pihak lain untuk diberi pemahaman mengenai proyek REDD+, tidak ada batas waktunya” katanya.

Menurut Teras Narang, pihaknya berupaya untuk terus melakukan sosialisasi hingga seluruh masyarakat di kawasan hutan Kalteng paham mengenai mekanisme REDD+.

Luas provinsi Kalteng mencapai 153.364 kilometer persegi dengan tutupan hutan mencapai 64,04 persen dari wilayah.

REDD+ berangkat dari penelitian ilmuwan bahwa emisi dari deforestasi dan degradasi hutan menyumbangkan 20 persen emisi gas rumah kaca secara global setiap tahun.

Proyek yang mulai diusulkan pada Konperensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali pada 2007 dan disempurnakan pada KTT Kopenhagen 2009 tersebut berisi mekanisme bagi negara berkembang dan kaya hutan untuk memperoleh imbalan dari negara maju karena melestarikan hutannya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 Negara (G20) di Pittsburgh, Amerika Serikat, pada September 2009 mengajukan secara sukarela upaya pengurangan emisi karbon Indonesia sebesar 26 persen pada 2020 termasuk dengan menggunakan mekanisme REDD.

Pada Mei 2010, Presiden Yudhoyono dan PM Norwegia, Jens Stoltenberg, melakukan penandatanganan Letter of Intent (LoI) mengenai REDD+ menyangkut penyempurnaan dari mekanisme REDD dengan hibah senilai satu miliar dolar AS, dan menetapkan Kalimantan Tengah sebagai proyek percontohan.

“Indonesia memiliki kesempatan untuk sukses dalam program REDD+ terlebih karena Presiden SBY sudah menetapkan target yang tinggi mengenai pengurangan emisi,” tambah Clark

Menurut Manajer Proyek Nasional REDD+ Indonesia, Heracles C. Lang, yang baru dilakukan saat ini adalah proyek pada tahap persiapan implementasi.

“Ada tujuh tindakan yang dilakukan oleh UNDP di Kalteng yaitu pembentukan badan nasional, penyiapan strategi komunikasi, mengumpulkan para pemangku kepentingan, menyiapkan instrumen pendanaan, melakukan pengawasan,pelaporan, dan validasi, menetapkan provinsi percontohan serta moratorium penebangan hutan,” jelasnya.

Dana yang digunakan untuk tahap tersebut senilai 30 juta dolar AS.

“Semua tahap sudah berjalan selain moratorium karena masih menunggu keputusan presiden,” katanya.

Seorang pemangku adat (damang) kecamatan Kahayang Tengah yang masuk dalam kawasan bekas penanaman lahan gambut sejuta hektar, Paerlenjun (59), mengatakan bahwa pihaknya sudah mendapatkan informasimengenai proyek penanaman hutan.

“Saya sudah mengetahui hal itu tapi sebenarnya sebelum proyek itu diterapkan, kami sudah menanami hutan bila kami akan membuka ladang yang baru,” katanya menambahkan.

Link: http://www.antaranews.com/berita/256013/redd-harus-libatkan-masyarakat

Skema REDD Dianggap Belum Jelas

Kamis, 28 April 2011

Editor: Aditia Maruli

Palu (ANTARA News) – Deputi Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah, Ahmad Pelor mengatakan, skema peruntukan anggaran dari pendapatan kompensasi karbon dari negara-negara maju untuk menekan emisi melalui implementasi program “Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD)” di Indonesia belum jelas.

“Belum jelas skema REDD kita. Uang jutaan dolar yang akan dikucurkan ke negara-negara miskin nanti diperuntukkan kepada siapa, ini yang belum jelas,” kata Ahmad Pelopor dalam diskusi bersama media di Palu, Rabu.

Diskusi tersebut melibatkan sejumlah wartawan di daerah ini. Aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Kelompok Kerja Pantau REDD juga menerima masukan dari wartawan.

Di Sulteng terdapat lima wilayah kabupaten yang direncanakan akan menjadi tapak REDD melalui program inisiasi dari tiga lembaga PBB yakni UNEP, UNDP, dan FAO.

Lima kabupaten tersebut memiliki hutan lindung seperti Kabupaten Sigi yang memiliki Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah tersebut akan menjadi proyek percontohan untuk persiapan implementasi REDD tahun 2012 mendatang.

Ahmad mengatakan, sejauh ini belum diketahui secara pasti bagaimana pengelolaan dana yang akan dikucurkan ke negara-negara berkembang sebagai negara penghasil oksigen.

“Apakah anggaran itu nantinya dikucurkan ke masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, kita belum tahu,” katanya.

Menurut dia, salah satu yang juga bisa menghambat implementasi REDD adalah masih banyaknya tata batas hutan yang belum jelas. Dia mengatakan, rata-rata lokasi yang dijadikan kawasan konservasi tata batasnya bermasalah.

Masyarakat yang sebelumnya berada di wilayah tersebut dibatasi wilayah kelolanya hanya karena alasan konservasi. Dia mencontohkan kasus yang terjadi di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), berada di tiga wilayah administratif yakni Kabupaten Poso, Sigi dan Donggala.

Di TNLL telah terjadi pencaplokan lahan oleh masyarakat lokal dari luar kawasan itu. Mereka masuk di zona inti TNLL tepatnya di Dongi-Dongi. Sejak mereka masuk, hingga kini pemerintah belum melakukan mencarikan solusi atas pendudukan lahan tersebut.

Kasus yang sama juga terjadi di kawasan wilayah Suaka Margasatwa Bangkiriang, di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai. Sebagian kawasan tersebut sudah dijadikan lahan perkebunan sawit.

“Tata kelola kehutanan kita masih amburadul, tidak saja soal pengelolaan kayunya tapi juga pengelolaan tanah dan hak ulayatnya,” kata Ahmad.

Dia mengatakan, investasi di sektor perkebunan di Sulteng masih berkontribusi besar dalam menghasilkan emisi. Selain itu juga di sektor pertambangan.

Menurut dia, untuk menurunkan emisi tidak cukup dengan REDD tetapi perlu komitmen negara-negara maju agar mengurangi emisi yang dihasilkan dari industrinya.
(A055/M027)

Link: http://www.antaranews.com/berita/256090/skema-redd-dianggap-belum-jelas

SBY to Receive UNDP Administrator

Source : Kompas
April 28, 2011

President Susilo Bambang Yudhoyono is scheduled to receive UNDP Administrator Helen Clark at the presidential palace complex here Thursday. In the meeting,  they are expected to discuss global, regional and national development issues.

The UNDP Administrator is visiting Indonesia from April 26 to 29,2011. Her agenda included a visit to Central Kalimantan to see the preparations for REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) implementation.

She is also a keynote speaker in the Business for the Environment (B4E) Global Summit 2011. Helen Clark, former prime minister of New Zealand during the 1999-2008 period, is the first female UNDP administrator.

She has been holding the UNDP administrator post since April 17, 2009. She is also Chair of the United Nations Development Group. The UN Development Group (UNDG) unites the 32 UN funds, programmes, agencies, departments, and offices that play a role in development.

The group’s common objective is to deliver more coherent, effective and efficient support to countries seeking to attain internationally agreed development goals, including the Millennium Development Goals. Established by the Secretary-General in 1997, the UNDG designs system-wide guidance to coordinate, harmonize and align UN development activities.

Link : http://english.kompas.com/read/2011/04/28/12474837/SBY.to.Receive.UNDP.Administrator